Get Paid To Promote, Get Paid To Popup, Get Paid Display Banner

[Koran-Digital] Dewi Aryani: BBM, Nelayan dan Mimpi Sejahtera

BBM, Nelayan dan Mimpi Sejahtera
Rabu, 14 Maret 2012 10:51 WIB
leh :

Dewi Aryani
Anggota Komisi 7 DPR RI Fraksi PDI Perjuangan
Kandidat Doktor Administrasi dan Kebijakan Publik Universitas Indonesia

Kekayaan alam bahari Indonesia tidak perlu diragukan lagi keberadaannya.
Dengan luas wilayah laut terbesar di dunia yaitu 5,8 juta km2, kekayaan
laut Indonesia sangatlah melimpah. Letaknya yang menjadi penghubung dua
samudera dan dua benua, Samudera India dengan Samudera Pasifik, dan
Benua Asia dengan Benua Australia, menjadikan Indonesia memiliki
keanekaragaman hayati yang tinggi.

Bahkan karena luas lautan yang begitu besar, dimana hampir 70% wilayah
Indonesia merupakan lautan yang luas, Indonesia dikenal sebagai " The
Largest Archipelago Country in The World".

Namun, julukan tersebut tidak lantas menjadikan Indonesia sebagai negara
yang mengembangkan potensi lautnya sebagai komoditas utama. Berdasarkan
data yang didapatkan dari Bappenas, kontribusi sektor perikanan
Indonesia hanya US$ 1.76 milyar atau sekitar 20%. Padahal di negara lain
khususnya negara kepulauan, kontribusi sektor perikanan terhadap GDP
masing-masing negara sangat besar.

Contohnya adalah Islandia, yang sektor perikanan nya menyumbangkan
kontribusi sebesar 65%. Negara lain adalah Norwegia 25%, Korea Selatan
sebesar 37%, RRC 48.4%, dan Jepang 54%. Bahkan China yang hanya memiliki
luas perairan 8,8% dibanding Indonesia memilki kontribusi sebesar US$ 34
milliar. Sangat disayangkan, mengingat potensi perikanan Indonesia yang
besar yakni potensi perikanan tangkap Indonesia lebih dari USD 15
milliar, perikanan air tawar lebih dari USD 6 milliar, dan perikanan
budidaya tambak dan udang windu sebesar USD 10 milliar.

Jika ditilik lebih mendalam, ada beberapa hal yang menjadikan sektor
perikanan Indonesia tidak berkembang, yakni Infrastuktur yang minim,
kebijakan yang tidak berpihak pada pengembangan sektor perikanan,
minimnya kondisi perlengkapan dan pemahaman nelayan, serta rendahnya
supporting aspects berupa bahan bakar minyak (BBM). Pertama,
infrastruktur yang minim dapat dilihat dari ketiadaan cold storage di
beberapa daerah, teknologi perikanan yang masih menggunakan peralatan
tradisional, sebagian besar struktur armada yang dimiliki masih
didominasi struktur skala kecil dan tradisional (berteknologi rendah),
terbatasnya sarana prasarana sosial dan ekonomi (transportasi,
komunikasi, kesehatan, pendidikan dan perumahan) dan sebagainya.

Kedua, kebijakan yang tidak berpihak pada pengembangan sektor perikanan
dapat dilihat dari ketiadaan kebijakan yang tegas dan berani yang
mengakibatkan maraknya praktek illegal, unregulated dan unreported
fishing, penegakan hukum yang lemah, kerusakan lingkungan ekosistem laut
yang disebabkan oleh pengeboman dan penambangan pasir, serta program
bantuan BLT sebesar Rp.120.000,- setahun untuk nelayan, dimana dalam
sehari nelayan hanya mendapatkan Rp. 329,- saja. Dengan dana seminim
itu, tingkat ekonomi nelayan tidak akan sejahtera.

Justru pemerintah cuma memboroskan anggaran negara yang tidak memiliki
efek peningkatan sarana dan prasarana sektor kelautan dan perikanan.
Seharusnya dana tersebut dialokasikan untuk pengembangan infrastuktur
dan teknologi bagi nelayan, dimana mereka dapat menggunakan secara lebih
efektif dan efisien. Ibaratnya pemerintah berkewajiban memberi pancing,
bukan malah memberi ikan yang tidak memberdayakan potensi sumber daya
manusia dan potensi alam kelautan.

Ketiga, rendahnya kondisi dan pemahaman nelayan dapat dilihat dari
minimnya pemahaman nelayan karena sebagian besar nelayan merupakan
nelayan tradisional dengan karaktersitik sosial budaya yang belum
kondusif untuk kemajuan usaha dan lemahnya market intelligence yang
meliputi penguasaan informasi tentang segmen pasar, harga dan pesaing.
Sebagian nelayan juga didominasi oleh nelayan miskin. Hal ini diperkuat
dengan pernyataan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Fadel Muhammad,
yang menyatakan bahwa seperempat dari seluruh total penduduk miskin yang
berada di Indonesia adalah dari kelompok dan keluarga nelayan
tradisional di pesisir.

Jumlah nelayan miskin (beserta anggota keluarganya) di pesisir adalah
sebanyak 7,87 juta orang atau 25,14 persen dari total penduduk miskin
nasional yang sebanyak 31,02 juta orang. Adapun 7,87 juta orang tersebut
berasal dari sekitar 10.600 desa nelayan miskin yang terdapat di kawasan
pesisir di berbagai daerah di Tanah Air. Sebagai perbandingan, jumlah
desa miskin sebanyak 28.258 desa dari keseluruhan 73.067 desa di
Indonesia. Namun keberadaan dan keakuratan angka ini harus di telaah
ulang mengingat dampak kenaikan BBM yang direncanakan pemerintah sudah
menunjukkan efek dominonya berupa kenaikan harga berbagai kebutuhan
pokok maupun biaya biaya produksi. Jelas ini akan menambah angka orang
miskin dan pengangguran.

Keempat adalah supporting aspects, yang salah satunya adalah BBM.
Walaupun hanya merupakan supporting aspects, peran BBM sangat penting
dalam perekonomian masyarakat terutama untuk kegiatan operasional dan
bahan bakar. Pentingnya peran BBM tersebut akhirnya menjadikan
Pemerintah membuat kebijakan-kebijakan yang mengatur hal-hal tersebut.
Pada tahun 2005, Presiden menandatangani Peraturan Presiden No 55 Tahun
2005 Tentang Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak Dalam Negeri
sebagaimana yang telah diubah melalui Perpres No 9 Tahun 2006 Tentang
Perubahan atas Peraturan Presiden No 55 Tahun 2005 Tentang Harga Jual
Eceran Bahan Bakar Minyak Dalam Negeri. Perpres tersebut mengatur
tentang pihak-pihak yang berhak mendapatkan BBM bersubsidi, termasuk
diantaranya adalah nelayan yang melakukan kegiatan di bidang perikanan.

Namun, Perpres ini juga membatasi penggunaan BBM, dalam hal ini Solar,
paling banyak 25 Kilo Liter baik untuk nelayan dengan kapal bermuatan
maksimum 30 GT maupun di atas 30 GT.

Selanjutnya, Kementerian ESDM melalui Direktorat Jenderal Minyak dan Gas
Bumi mengajukan revisi atas Perpres tersebut melalui Perpres No 15 Tahun
2012 Tentang Harga Jual Eceran dan Konsumen Pengguna Jenis Bahan Bakar
Minyak Tertentu dengan tujuan melakukan pembatasan penggunaan BBM
bersubsidi yang sudah berlebihan. Namun begitu Perpres ini
ditandatangani, protes dan kecaman yang berisi penolakan atas perpres
tersebut banyak bermunculan dari berbagai kalangan, utamanya kalangan
nelayan,

Pasalnya, Perpres yang tujuan awalnya hanya membatasi penggunaan BBM
bersubsidi berlebih ini juga menimbulkan berbagai masalah bawaan.
Masalah tersebut lahir karena adanya pelanggaran undang-undang dan
Ketatanegaraan dan yang paling krusial adalah pelarangan penggunaan BBM
Bersubsidi bagi nelayan dengan kapal diatas 30 GT yang masih kategori
nelayan kecil.

Melangkahi DPR dan Melanggar Undang-Undang

Perpres No 15 tahun 2012 ini memiliki beberapa perbedaan dengan
kebijakan pendahulunya, yaitu Perpres 55 Tahun 2005 sebagimana yang
telah dirubah oleh Perpres No. 8 tahun 2006. Salah satunya adalah
masalah titik serah kepada konsumen. Jika dalam Perpres No. 9 Tahun 2006
disebutkan bahwa titik serah seluruh jenis bahan bakar bersubsidi ini
dilakukan oleh Agen/Depot/Bunker/Terminal BBM, pada Perpres No. 15 Tahun
2012 titik serah BBM (selain Kerosene) dilakukan oleh Penyalur atau
sampai kepada SPBU dan SPBN.

Akan tetapi perpres No. 15 Tahun 2012 ini juga terganjal dengan masalah
ketatanegaraan. Pasalnya, Perpres tersebut terindikasi bertentangan
dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak Bumi dan Gas.
Pada Pasal 16 Ayat (2) UU No 22 Tahun 2001 Tentang Migas disebutkan
bahwa "penyesuaian harga BBM berupa kenaikan dan penurunan ditetapkan
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berdasarkan hasil sidang
kabinet". Seperti yang kita ketahui bersama, hingga saat ini besaran
kenaikan harga BBM belum difinalisasikan. Besaran harga final BBM ini
masih diperdebatan oleh Komisi VII DPR dengan Kementerian ESDM. Tentunya
merupakan hal yang rancu dan aneh ketika harga final BBM belum
ditetapkan, namun besaran subsidi sudah ditetapkan melalui Peraturan
Presiden.

Selain itu, Perpres ini juga lahir sebelum adanya perubahan terhadap UU
APBN 2012. Padahal jika memang nantinya terjadi perubahan pada harga
final BBM, maka UU APBN harus dirubah menjadi UU APBN Perubahan. Sampai
saat ini Pemerintah dan DPR belum mengesahkan UU APBN Perubahan. Oleh
karena itu, secara hukum Perpres ini tidak dapat dijalankan. Selain itu,
pemerintah harus mengubah klausul pasal 7 ayat (6) Undang Undang APBN
2012 yang menyatakan harga eceran BBM tidak naik, karena yang terjadi
adalah sebaliknya.

Larangan Nelayan Kapal 30 GT mendapatkan Subsidi BBM

Perbedaan Perpres 15 Tahun 2015 dengan Perpres No 9 Tahun 2006 ini tidak
hanya terjadi pada aspek titik serah, namun juga pada sisi konsumen
penerima. Jika pada Perpres No 9 Tahun 2006 seluruh nelayan berhak
mendapatkan BBM bersubsidi, namun pada Perpres 15 Tahun 2012 ini
terdapat larangan bagi nelayan dengan kapal bermuatan di atas 30 GT
untuk mendapatkan BBM bersubsidi.

Munculnya kebijakan pelarangan konsumsi BBM bersubsidi untuk kapal
bermuatan di atas 30 GT ini menimbulkan banyak pertentangan, khususnya
dari nelayan dan dari lembaga-lembaga sosial yang berpihak kepada
nelayan. Pasalnya, pelarangan ini dianggap memberatkan nelayan kapal
bermuatan 30 GT yang dianggap masih merupakan nelayan kecil. Di
Indonesia, terdapat beberapa jenis kapal kayu yang digunakan oleh
nelayan diantaranya adalah kapal bermuatan 5 GT, 10 GT, 15 GT, 25 GT, 30
GT, dan di atas 30 GT. Jika melihat spesifikasi dari kapal-kapal
tersebut, kapal bermuatan 30 GT masih termasuk dalam golongan kapal
kecil. Selain itu, pengguna kapal ini sebagian besar adalah nelayan
kecil yang mendapatkan kapal ini dari pemerintah, yakni program
pemerintah pada tahun 2011 yang memberikan pengadaan kapal 30 GT kepada
para nelayan.

Kebijakan pengadaan Kapal Nelayan 30 GT ini sebenarnya dirancang agar
nelayan kecil dapat menambah jumlah tangkapannya dengan kapal yang lebih
besar dan berdaya jangkau lebih luas. Namun sayangnya, kebijakan
pengadaan ini justru menjadi obat yang mematikan potensi nelayan.
Kepemilikan atas kapal 30 GT justru membuat para nelayan kecil lebih
sulit mendapatkan BBM untuk operasional kegiatan perikanan mereka. Jadi
sampai kapan nelayan bermimpi hidup sejahtera?.

http://m.tribunnews.com/2012/03/14/bbm-nelayan-dan-mimpi-sejahtera

--
"One Touch In BOX"

To post : koran-digital@googlegroups.com
Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com

"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus

Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun
- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu
- Hindari ONE-LINER
- POTONG EKOR EMAIL
- DILARANG SARA
- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau
Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------
"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.
"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.

Newer Post Older Post

Powered by Blogger.