Get Paid To Promote, Get Paid To Popup, Get Paid Display Banner

[Koran-Digital] LAODE IDA: Pejabat Korup & Budaya Malu

Pejabat Korup & Budaya Malu PDF Print
Friday, 16 March 2012
Negara ini, agaknya, sudah dikuasai oleh para elite politisi dan pejabat
yang tak punya rasa malu lagi. Tidak malu berbohong,tak malu
bermewah-mewah dengan harta haram hasil korupsi.

Tak malu kalau nama para politisi dan pejabat negara sudah disebutsebut
sebagai terlibat korupsi, tetapi tetap ngotot berada pada jabatannya
alias tak mau mundur. Bangsa dengan kekuasaan yang menolak semua bentuk
kritik dan desakan untuk perbaikan. Maka kelompok masyarakat maupun
individu pun frustrasi dengan berbagai cara ekspresinya, termasuk
seperti yang dilakukan Dedy Sugarda dengan membacok jaksa terdakwa kasus
suap didalam ruang PengadilanTipikor Bandung. Mereka, para pejabat itu,
tetap bergeming dengan sikap yang ditunjukkan oleh Presiden Jerman
Christian Wulff belum lama ini.

Dia sekonyongkonyong mundur dari jabatannya sebagai kepala negara besar
di Eropa itu hanya karena dia dicurigai menerima fasilitas voucher
liburan gratis dari seorang pengusaha pada saat menjabat sebagai Perdana
Menteri di negara bagian Lower Saxony tahun 2008 lalu.Memang Wulff
sebenarnya sudah berupaya menyangkalnya,namun publik sudah telanjur
"terprovokasi" oleh pemberitaan media, sehingga kepercayaan masyarakat
luas menurun drastis. Peristiwa mundur dari jabatan seperti itu sudah
kerap terjadi di beberapa negara maju, sudah menjadi bagian dari "budaya
malu".

Catat saja, misalnya,Perdana Menteri Rumania Emil Boc pada awal Februari
2002 ini mengundurkan diri akibat ketakmampuannya mengatasi ketegangan
sosial politik yang terus berlangsung hingga saat ini. Perdana Menteri
Yunani juga demikian, November 2011 dia mundur lantaran merasa tak mampu
mengatasi krisis utang di negaranya. Begitu juga dengan Perdana Menteri
Jepang, pada Juni 2010 lalu dia mundur karena merasa tak mampu memenuhi
janji politiknya. Budaya malu di negara-negara maju itu tampaknya juga
sudah mulai muncul di negara yang akhir-akhir ini berkembang sangat
pesat,yakni Brasil.

Dalam satu tahun terakhir ada tujuh anggota kabinet di Negeri Samba itu
yang mengundurkan diri akibat tuduhan penyalahgunaan jabatan,yakni
Menteri Pariwisata, Menteri Transportasi, Menteri Pertanian,Menteri
Tenaga Kerja, Menteri Olah RagadanMenteriUrusanPerkotaan. Menteri Olah
Raga Brasil Orlando Silva (dari Partai Komunis Brasil) akhir Oktober
2011, misalnya, mengundurkan diri lantaran dituduh korupsi anggaran
persiapan piala dunia sepak bola 2014.Menteri Urusan Perkotaan Mario
Ne-gromonte padaawalFebruari2012mundur lantaran diisukan terkait
'korupsi politik' (political corruption), yakni memberikan proyek
transportasi di Kota Cuiaba kepada perusahaan yang mendanai partainya
(Partai Progresif).

Etika Publik

Sikap para pemimpin negara dan atau pejabat publik di atas terasakan
sungguh berbeda dengan apa kita alami di Indonesia.Mereka tampaknya
sangat menjunjung nilai-nilai etika dan kepercayaan publik, sehingga
kalau menganggap diri sudah dipermalukan atau cenderung tidak lagi
dipercaya publik,maka merasa lebih baik melepas jabatan.Tidak perlu
terlebih dulu menunggu proses dan keputusan hukum—baru kemudian terpaksa
atau dipaksa mundur.

Sebaliknya,di Indonesia ini sebagian politisi dan pejabat publik kita
sepertinya sudah kehilangan rasa malu.Soalnya, walaupun sudah
terindikasi kuat korupsi atau menjadi pelaku mafia anggaran, sudah
diketahui dan dicemooh oleh masyarakat luas sehingga sungguh-sungguh
terhinakan, mereka tampak tidak peduli. Alasannya sangat sederhana,
"hukum kita menganut praduga tak bersalah, sehingga mereka tidak perlu
mengundurkan diri sebelum ada putusan hukum yang bersifat tetap.

" Sementara kita semua tahu bahwa proses hukum tidak berjalan cepat,
sangat lambat, terlebih yang jadi target adalah para pejabat.Apalagi
demikian banyaknya kasus korupsi yang harus ditangani oleh pihak penegak
hukum (KPK,kejaksaan dan kepolisian),maka pastilah sejumlah politisi dan
pejabat yang dituduh atau terindikasi korupsi akan berada dalam daftar
antrean (waiting list). Sehingga tak mengherankan kalau di antara
beberapa oknum pejabat korup nanti sudah berakhir masa jabatannya baru
ditetapkan sebagai tersangka, divonis, kemudian mendekam di hotel prodeo.

Parahnya lagi, Presiden Susilo bambang Yudhoyono (SBY) tetap saja
membiarkan aparat atau sebagian pembantunya yang terindikasi korup atau
tidak bisa menjadikan lingkungan kementerian mereka bebas dari korupsi
itu tetap bertahan pada jabatannya, kendati sebenarnya memiliki
kewenangan mutlak untuk segera menggesernya.Semakin ironis lagi ketika
sejumlah kader Partai Demokrat (PD), selain Nazaruddin dan Angelina
Sondakh,sudah juga terindikasi korupsi dan melakukan praktik
permafiaan,ternyata tak mampu dihentikan atau disingkirkan dari arena
pengambilan kebijakan di negeri ini.

Demikian juga dengan kader- kader parpol selain dari PD yang namanya
sudah diketahui publik sebagai bagian dari pelaku kejahatan kerah putih
(white collar crime).Mereka tetap saja bebas melenggang dan kemungkinan
terus melakukan aksinya.Lagi-lagi dengan berlindung di bawah sistem
hukum yang sebenarnya juga para penegak hukumnya berjaringan, saling
pengertian, dan bahkan pada tingkat tertentu dikendalikan oleh kekuasaan
yang notabene di bawah cengkeraman para pejabat parpol. Sehingga tak
boleh ada yang marah kalau sebagian pihak menganggap
bahwanegarainisudahberadadi bawah kendali konspiratif para pejabat korup
dan mafia, serta sudah kehilangan rasa malu.

Pembiaran politisi dan pejabat korup tetap pada posisi dan leluasa
bergerak di tengah kesadaran masyarakat di era keterbukaan informasi ini
sebenarnya sangat berimplikasi negatif terhadap moralitas dan
pengelolaan negara ini. Pertama, instabilitas sosial politik akan terus
terjadi akibat akan selalu berhadapannya kepentingan antara pejabat atau
politisi yang korup dan kekuatan rakyat yang bergerak melakukan advokasi
ke arah pemerintahan yang baik dan bersih.

Kedua, pejabat atau politisi bersangkutan niscaya tidak konsentrasi
dalam menjalankantugasnya, akanlebihbanyak disibukkan oleh urusan
pribadinya. Padahal,mereka dibiayai oleh uang rakyat untuk selama
menjabat "harus mengabdi pada rakyat sebagai tuannya". Ketiga, akan
meningkatkan sikap dan budaya permisif terhadap koruptor dan praktik mafia.

Bahkan bukan mustahil kalau suatu saat para penjahat itu menjadi tokoh
penting dan dibela dengan derajat fanatisme yang tinggi,karena mampu
menyuplai kebutuhan pragmatismaterial bagi mereka yang kecipratan.
Padahal, konon, bangsa ini terkenal masyarakatnya moralis berdasarkan
nilainilai budaya dan agama. *) Artikel ini pandangan pribadi 

LAODE IDA
Wakil Ketua DPD

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/478044/

--
"One Touch In BOX"

To post : koran-digital@googlegroups.com
Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com

"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus

Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun
- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu
- Hindari ONE-LINER
- POTONG EKOR EMAIL
- DILARANG SARA
- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau
Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------
"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.
"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.

Newer Post Older Post

Powered by Blogger.