[Koran-Digital] RHENALD KASALI: Ekspor Gampang-gampangan
Ekspor Gampang-gampangan PDF Print
Thursday, 15 March 2012
Pekan lalu saya diminta sahabat-sahabat saya dari Kementerian
Perdagangan untuk berbicara tentang national branding (yang sudah saya
uraikan minggu lalu).
Saya sebut mereka sahabat- sahabat karena suatu ketika saya pun pernah
bersama- sama dengan mereka dan sebagian besar masih saya kenali.
Bedanya, sekarang mayoritas sudah aktif berbahasa Inggris. Mungkin ini
karena arahan Menteri Gita Wirjawan yang sadar pentingnya bahasa dalam
diplomasi pasar global. Dulu sewaktu saya memasuki Kantor Departemen
Perdagangan, para pejabat dan menteri tengah sibuk ganti logo. Hasilnya
logo berbentuk payung yang ada warna hijau dan birunya.
Sekarang, tak lama setelah menterinya berganti, logo baru yang lebih
sederhana sudah tersemat di dada para pejabatnya,payungnya sudah
hilang.Cukup warna dasar biru dengan tulisan "Kementerian" (bukan lagi
"Departemen") Perdagangan. Saya berharap tiga tahun lagi, yang diganti
menteri baru bukan logonya, tetapi paradigmanya, yaitu cara berpikirnya.
Bukankah perubahan belum pernah terjadi sebelum manusia berhasil
mengubah cara berpikirnya? Maksud saya, cara berpikir para follower,
para aparatur negara, pejabat, dan birokrat yang seharihari mengurusi
perizinan dan masyarakat. Sebab, reformasi birokrasi itu sebenarnya
adalah peningkatan pelayanan.
Itu pun kalau menterinya sudah benar-benar memiliki cara pandang baru
yang lebih match, lebih pas dengan tuntutan zaman, supaya kompetitif di
pasar global dan domestik. Pasalnya, kalau melihat data statistik,
ekspor Indonesia memang naik terus. Januari 2012 ini saja, ekspor
Indonesia mencapai USD15,49 miliar, naik 6% dibandingkan Januari tahun lalu.
Dari jumlah itu, ekspor migas semakin hari semakin kecil, yaitu tinggal
USD2,97 miliar atau 18,05% dari total ekspor kita.Padahal, di era
kejayaan migas Indonesia, dulu kita pernah menuai 60–70% pendapatan
ekspor dari migas. Bagi para penggagas diversifikasi ekspor yang
dipikirkan 25 tahun lalu, jelas ini suatu kemajuan.Lantas bagaimana
legacy perubahan menteri-menteri sekarang untuk Indonesia 25 tahun ke depan?
Ekspor atau Marketing
Kata "ekspor"memang masih lazim dipakai oleh banyak negara.Namun dalam
literatur pemasaran internasional, kata ini sudah jarang disebut.
Maklum, ekspor berkonotasi bisnis "gampang-gampangan",cuma "membuang"
kelebihan kapasitas produksi yang tak terserap di pasar domestik ke luar
negeri. Cara "gampang-gampangan" ini pun tidak mudah untuk diubah.
Ekportir bisa marah besar dibilang bisnisnya "gampang- gampangan". Tapi
begitulah Change! Manusia lebih sulit membuang kebiasaan dan paradigma
lama daripada mengadopsi sesuatu yang baru.
Mereka bisa mengadopsi bisnis batu bara atau kelapa sawit, tetapi
membuang memori "ekspor" atau cara-cara dagang ekspor, susahnya setengah
mati. Di pabrik jamu saja ada puluhan produk minuman kesehatan baru
dibuat, tetapi jamu beri-beri tetap diproduksi kendati orang yang
terkena penyakit beri-beri sudah hampir tidak ada. Mengapa cara "ekspor"
disebut cara "gampang-gampangan" dan sulit dibuang? Jawabannya adalah
karena itulah cara termudah.
Barang yang diekspor sama dengan yang dibuat di dalam negeri. Kalaupun
disesuaikan, ya hanya sedikit sekali yang harus diutak-atik.Kemasannya
juga sama. Nama mereknya juga sama. Atau kemasannya dikupas sama sekali,
menjadi unbranded. Tinggal terserah yang membeli di luar negeri mau
dibungkus lagi dengan merek buatan mereka (repacking) atau dijual dalam
bentuk komoditas polos(unbranded). Karena itu pulalah distribusinya pun
sederhana saja. Tanyakanlah secara random kepada para pemilik produk
atau komoditas Indonesia. Ambil saja 100 responden secara acak (gunakan
tabel nomor random).Anda pasti akan mendapatkan jawabannya.
Mereka pasif menunggu orang datang ke sini, memesan barang- barang
mereka untuk diperdagangkan keluar negeri. Jadi kalau Anda melihat
barang-barang asal Indonesia di luar negeri, sesungguhnya itu bukan
sesuatu yang dipasarkan dengan prinsip-prinsip bisnis internasional yang
modern. Barang-barang itu dibawa para pedagang yang melihat adanya
permintaan, misalnya permintaan dari para TKI yang jumlahnya cukup besar
di Arab Saudi, Hong Kong, Taiwan, Singapura, dan Malaysia atau dari para
mahasiswa asal Indonesia di Australia, Amerika Serikat, dan Eropa Barat.
Itu untuk barang-barang konsumsi.
Sebut saja jamu,permen, kacang, kecap, sambal, terasi, daun salam, dan
ikan asin. Lalu bagaimana dengan komoditas yang dipungut dari alam
seperti kopi, kakao, linyak sawit, nikel, biji besi, dan batu bara?
Caranya ternyata sama saja, diekspor dari tempat asalnya.Sedikit sekali
eksportir komoditas jenis ini yang mau bersungguh-sungguh
mencengkeramkan kakinya di pasar global. Kantor dagangnya ya di sini
saja. Petugasnya menunggu pembeli datang.Pasif. Apa akibatnya? Indonesia
menjadi ramai oleh para pembeli yang berdatangan ke sini.
Bisnis penerbangan dan hotel di pusat-pusat komoditas ramai didatangi
pembeli-pembeli komoditas dari China, India,Korea Selatan, Jepang, dan
orang-orang Barat. Tapi akibatnya mereka ingin berhubungan langsung
dengan petani dan pemilik lahan. Semula pembeli, berikutnya jadi
pesaing. Mereka memainkan harga kopi, kakao, nikel, ikan, dan
seterusnya. Paradigma ini jelas harus segera diperbaharui. Kalau ingin
menjadi global player yang disegani,Indonesia harus benar-benar
mempersiapkan pelaku-pelaku usahanya menjadi world class company.
Ini berarti Indonesia perlu mengubah cara berpikirnya, yaitu cara-cara
global player. Bahkan birokratnya pun harus kelas dunia, baik
pengetahuan, sistem, governance maupun pelayanannya. Jadi menurut hemat
saya, kata ekspor pun harus diganti menjadi global marketing. Harus ada
niat sungguh-sungguh dari pemerintah untuk mencetak global brand
Indonesia seperti upaya Malaysia mencetak merek sepatu Vinci dan tas
kulit Bonia sebagai regional player yang disegani. Bahkan sekarang
Malaysia sedang giat mempromosikan snack cokelat merek Barley di pasar
global, termasuk di sini. Padahal kakaonya diambil dari Sulawesi.
Global marketingantara lain ditandai dengan dibentuknya kantor-kantor
perwakilan dagang perusahaan di luar negeri, bahkan membangun atau
mengakuisisi pabrik lain di luar negeri seperti yang dilakukan Indofood
di beberapa negara (Afrika, Timur Tengah, dan beberapa negara
Asia).Dengan kantor-kantor dagang itu, dilakukan upaya pengendusan pasar
dan membuka jalur-jalur distribusi baru sekaligus.
Tidak terlalu sulit, tetapi tentu ada risikonya bila tidak dimonitor
dari kantor pusat. Jadi apa yang mau dicapai dari ekspor cara
gampang-gampangan ini? Tanpa global player, perwakilan dagang Pemerintah
Indonesia di luar negeri bakal pontang-panting menerima keluhan pembeli
yang kata birokrat permintaannya bagus, tapi bagi eksportir jumlahnya
tidak menarik.
RHENALD KASALI
Ketua Program MM UI
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/477905/
--
"One Touch In BOX"
To post : koran-digital@googlegroups.com
Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com
"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus
Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun
- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu
- Hindari ONE-LINER
- POTONG EKOR EMAIL
- DILARANG SARA
- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau
Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------
"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.
"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.