Get Paid To Promote, Get Paid To Popup, Get Paid Display Banner

[Koran-Digital] Kontroversi Surat Edaran Dirjen Dikti



Undang-undang mengamanatkan perguruan tinggilah yang menetapkan persyaratan kelulusan peserta didik untuk meraih gelar akademik.

SuRat edaran (Se) Direk tur Jenderal Pendidikan tinggi Kementerian Pen didikan dan Kebudayaan Nomor 152/e/t/2012 pada 27 Januari 2012 tentang Publikasi Jurnal Ilmiah membuat geger kalangan kampus.

alih-alih bertujuan meningkatkan mutu lulusan perguruan tinggi dan mempersempit jarak ketertinggalan dengan negaranegara lain, kebijakan itu malah menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan, praktisi pendidikan, guru besar, dan terutama pihak perguruan tinggi swasta.

Se yang ditandatangani langsung Dirjen Dikti Djoko Santoso itu ditujukan langsung kepada rektor/ ketua/direktur PtN dan PtS di seluruh Indonesia dengan tembusan kepada Mendikbud, sesditjen, dan direktur di lingkungan Ditjen Dikti. `untuk lulus program sarjana harus menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal ilmiah', demikian isi Se itu.

Memang itu tak hanya berlaku untuk lulusan sarjana, tetapi juga merambah sampai program magister dan doktor. Disebutkan, lulusan magister harus menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal ilmiah nasional, diutamakan yang terakreditasi Ditjen Dikti, sedangkan lulusan doktor harus sudah menghasilkan makalah yang diterima pada jurnal inter nasional. Ketentuan itu berlaku efektif setelah agustus 2012.

Protes pun menyeruak ke permukaan. Ketua badan Penyelenggara asosiasi Pendidikan tinggi Swasta Indonesia thomas Suyatno, dalam diskusi di universitas Yarsi, Jakarta, Senin (12/3) lalu, menegaskan, surat dirjen itu inkonstitusional karena menabrak ketentuan uu Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 25 ayat (1) uu No 20/2003 tentang Sisdiknas menyebutkan bahwa Pt menetapkan persyaratan kelulusan untuk mendapatkan gelar akademik, profesi, atau vokasi (ayat 1).

“Ini sudah jelas membuktikan bahwa surat itu tidak punya kekuatan hukum. Kalau diwajibkan, itu sama saja pemaksaan, dan pemaksaan jelas bertentangan dengan prinsip demokrasi dan hak asasi manusia. Jangan dibiarkan cara-cara seperti ini,“ tutur thomas.

tanggapan miring juga dilontarkan Guru besar Sekolah tinggi Filsafat Driyarkara Franz Magnis Suseno. Ia mencurigai adanya rencana komersialisasi di balik itu.

“Se ini membuka pintu lebar-lebar untuk komersialisasi.
Jangan-jangan kemungkinan komersialisasi malah sudah dilirik di belakang SE itu. Masifikasi produksi tulisan ilmiah `yang mau dipaksakan' itu merupakan very good business untuk segala macam plagiat, penulis profesional yang bisa dikontrak,“ cetusnya.

Ia menambahkan, kebijakan pemerintah itu kontradiktif karena diprediksi akan mengurangi motivasi mahasiswa untuk menghasilkan karya ilmiah bermutu.

“Katakan saja dengan 500 ribu lulusan S-1 per tahun, dengan jumlah halaman setiap makalah 10, akan ada 5 juta halaman. Kalau 5 juta halaman dipublikasikan via dunia maya, siapa yang membacanya? Kecuali barangkali dosen pembimbing skripsi. Maka, di sini motivasi menghasilkan karya bermutu tidak lagi penting.“

Hal senada juga dilontarkan Rektor universitas Islam Sultan agung Semarang Laode M Kamaluddin.
Menurutnya, penulisan jurnal tidak relevan bagi program S-1. Perguruan tinggi di luar negeri saja, tuturnya, sudah tidak mengharuskan skripsi. “Di Indonesia, skripsi masih menjadi syarat kelulusan itu akibat warisan kolonial.“

Budaya menulis Dalam menanggapi sejumlah penolakan itu, Dirjen Dikti Kemendikbud Djoko Santoso berkukuh surat edaran yang dikeluarkannya merupakan upaya membudayakan tradisi akademik dan tradisi ilmiah.

“biarkan mereka berkomentar apa saja, yang penting kita ingin mengembalikan kepatutan bahwa sarjana, kalau tidak menulis, tidak pantas. Nanti pasti ada bedanya, sarjana yang datang dengan baju batik, yang pakai jas, dan yang berkaus singlet,“ tegasnya.

Menurut dia, sebaiknya kalangan Pt mempersiapkan semua infrastruktur penerbitan jurnal ilmiah. Lantas, bagaimana dengan yang belum siap? “Silakan jalan yang telah siap, dan yang belum siap, tidak apa-apa, itu saja,“ tukas mantan Rektor Institut teknologi bandung itu.

Djoko juga menepis tudingan miring munculnya komersialisasi di balik surat itu. Jika dibandingkan dengan Malaysia, ia mengakui, produksi karya jurnal ilmiah Indonesia tertinggal lima kali lipat. Padahal, jumlah penduduk Indonesia lebih besar. apalagi jika dibandingkan dengan negara maju seperti amerika Serikat.

Lalu apa sebenarnya motivasi yang melatarbelakanginya mengeluarkan surat itu? “tidak ada bangsa besar di dunia ini yang lahir karena budaya lisan atau budaya tutur, namun kebanyakan dengan budaya menulis,“ cetusnya.

Meski begitu, keputusan Dirjen Dikti tetap dirasa kontroversial. apalagi, hanya melalui surat. “Pasti ada waktunya Indonesia nomor satu untuk publikasi jurnal dan mengalahkan Malaysia yang jadi pembanding pemerintah dalam kebijakannya. toh, jumlah calon lulusan kita sangat banyak,“ pungkas thomas. (*/aS/HK/H-1)

http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2012/03/16/ArticleHtmls/Kontroversi-Surat-Edaran-Dirjen-Dikti-16032012022010.shtml?Mode=1

Newer Post Older Post

Powered by Blogger.